Jakarta (Suara Landak) – Menilik prospek dan analisis kondisi perberasan 2026 di Indonesia menghadirkan optimisme sekaligus tantangan baru yang perlu dibaca secara jernih dan komprehensif. Di satu sisi, capaian produksi nasional menunjukkan tren yang menggembirakan. Di sisi lain, arah kebijakan dan kesiapan sistem pangan nasional diuji untuk memastikan peningkatan tersebut benar-benar berkelanjutan dan berpihak pada kesejahteraan petani serta kebutuhan masyarakat luas.
Ilustrasi – Buruh mengangkut beras di salah agen beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/bar/am.SUARALANDAK/SK
Proyeksi lembaga internasional, seperti Food and Agriculture Organization (FAO), menempatkan Indonesia sebagai produsen beras terbesar keempat dunia dengan estimasi produksi mencapai 35,6 juta ton pada musim 2025/2026, meningkat sekitar 4,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sinyal positif ini diperkuat data produksi nasional yang hingga akhir 2025 telah mencapai 34,77 juta ton, melonjak signifikan dari capaian 2024 yang berada di angka 30,62 juta ton.
Namun, capaian tersebut semestinya tidak berhenti sebagai statistik keberhasilan semata. Peningkatan produksi harus dijadikan titik tolak untuk menilai kembali arah kebijakan ketahanan pangan jangka panjang, termasuk transformasi struktural sektor pertanian agar produksi yang tumbuh mampu menjawab kebutuhan domestik sekaligus menjamin kesejahteraan petani.
Secara global, produksi dan konsumsi beras terus menunjukkan tren meningkat, terutama didorong kontribusi negara-negara Asia seperti India, China, dan Bangladesh. Perdagangan beras dunia pun diperkirakan menguat, dengan sejumlah analisis menyebutkan peluang Indonesia menjadi salah satu eksportir potensial di masa mendatang.
Meski demikian, peluang tersebut menuntut kehati-hatian. Proyeksi FAO dan United States Department of Agriculture (USDA) yang masing-masing memperkirakan produksi Indonesia sebesar 35,6 juta ton dan 34,6 juta ton memang menunjukkan konsistensi tren positif. Akan tetapi, peningkatan produksi tidak serta-merta menjamin kesiapan Indonesia menjadi eksportir beras yang kompetitif tanpa memastikan stabilitas pasokan domestik, efisiensi biaya produksi, kekuatan rantai pasok, serta mitigasi risiko cuaca ekstrem.
Kenaikan produksi dalam dua tahun terakhir dipengaruhi sejumlah faktor objektif, mulai dari meningkatnya luas panen hingga 11,36 juta hektare atau naik 13,03 persen, kondisi cuaca yang relatif bersahabat, serta mulai dirasakannya dampak teknologi pertanian modern. Perbaikan sistem irigasi, penggunaan varietas unggul, dan mekanisasi pertanian menjadi bagian penting dari cerita keberhasilan ini.
Meski begitu, pertanyaan mendasar tetap mengemuka: apakah lonjakan produksi ini bersifat berkelanjutan atau hanya efek sementara dari siklus cuaca dan ekspansi lahan? Tanpa transformasi sistemik, peningkatan produksi berpotensi kembali tertekan ketika kondisi eksternal berubah.
Di sisi konsumsi, tantangan Indonesia tidak kalah besar. Dengan tingkat konsumsi beras per kapita sekitar 92,1 kilogram per tahun, ketergantungan masyarakat terhadap beras masih sangat tinggi. Pertumbuhan penduduk terus menambah tekanan permintaan, sementara diversifikasi pangan berjalan relatif lambat akibat faktor harga, distribusi, hingga budaya konsumsi.
Diversifikasi pangan bukan sekadar soal mengganti beras dengan singkong atau jagung, melainkan membangun ekosistem pangan yang memungkinkan alternatif karbohidrat tersedia dengan harga kompetitif, kualitas terjamin, dan diterima secara sosial. Tantangannya bersifat struktural dan kultural, bukan semata teknis.
Upaya pemerintah untuk mengurangi impor dan memperkuat ketahanan pangan nasional patut diapresiasi. Program cetak sawah, perbaikan irigasi, serta peningkatan produksi dalam negeri menjadi fondasi penting. Namun, tanpa revitalisasi kelembagaan pertanian—termasuk tata kelola pupuk, akses pembiayaan, dan penguatan posisi tawar petani—dampak jangka panjang akan sulit tercapai.
Perdagangan beras Indonesia menunjukkan arah positif dengan menurunnya impor dari Thailand dan rencana penghentian impor pada 2025. Stok nasional per Desember 2025 bahkan mencapai 3,8 juta ton, tertinggi dalam dua dekade terakhir. Pemerintah pun menargetkan ekspor beras pada 2028 serta peningkatan produksi hingga 12,5 juta ton pada 2029.
Namun, ambisi menjadi eksportir utama harus dibaca secara realistis. Indonesia perlu memastikan kualitas beras sesuai standar internasional, efisiensi produksi yang kompetitif, serta kemampuan menjaga konsistensi pasokan. Negara-negara eksportir tradisional telah lama membangun ekosistem industri beras yang terintegrasi, sementara Indonesia masih berada pada fase pemulihan produksi dan stabilisasi harga.
Outlook perberasan 2026 menempatkan Indonesia pada titik krusial. Produksi meningkat, ketergantungan impor menurun, dan stok nasional menguat. Ke depan, ketahanan pangan tidak ditentukan oleh tren jangka pendek, melainkan oleh kemampuan membangun sistem pangan yang resilien, adaptif, dan berbasis inovasi.
Jika momentum ini mampu dijaga dan diiringi transformasi menyeluruh, Indonesia bukan hanya berpeluang memenuhi kebutuhan beras dalam negeri, tetapi juga menegaskan diri sebagai pemain strategis dalam perdagangan pangan global. Harapannya, berbagai capaian ini menjadi awal perjalanan panjang menuju kedaulatan pangan yang sesungguhnya dan berkeadilan.[SK]