Pontianak (Suara Landak) – Anggota Komisi XII DPR RI, Cornelis, menegaskan pentingnya pemerataan hasil tambang dan energi di Kalimantan Barat guna mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal itu ia sampaikan dalam kunjungan kerjanya di Pontianak, Senin (29/9/2025).Anggota Komisi XII DPR RI Cornelis/ ANT.SUARALANDAK/SK
“Saya terus berkomitmen memperjuangkan tiga pilar utama dalam bidang energi dan sumber daya alam, yaitu keadilan bagi daerah penghasil, investasi berkelanjutan, serta kesejahteraan nyata bagi masyarakat lokal,” ujar Cornelis.
Cornelis menyoroti kondisi Kalbar yang menjadi penghasil bauksit terbesar di Indonesia, tetapi hanya mendapatkan porsi kecil dari pajak industri tersebut. Menurutnya, terdapat ketimpangan besar antara masifnya investasi dengan kesejahteraan masyarakat setempat.
“Jangan sampai petani kita tidak bisa lagi menanam karena kerusakan lahan bekas tambang,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa pembangunan tambang tidak boleh semata mengejar peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), tetapi juga harus menjaga kelestarian lingkungan dan keberlanjutan hidup warga.
Cornelis juga menyinggung pembangunan Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Mempawah dengan nilai investasi Rp12,5 triliun. Proyek strategis nasional tersebut ditargetkan memproduksi satu juta ton alumina per tahun. Namun, dari tujuh smelter yang direncanakan, baru satu yang beroperasi, sementara enam lainnya terkendala pendanaan dan mitra strategis.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sektor pengolahan bauksit menyumbang 15,38 persen terhadap PDRB Kalbar. Meski demikian, manfaat langsung bagi masyarakat sekitar tambang dinilai masih terbatas. “Masyarakat jangan hanya jadi objek, tapi harus terlibat dalam setiap tahap pembangunan,” kata Cornelis.
Selain tambang, Cornelis menekankan pentingnya pemerataan energi. Hingga 2025, lebih dari 700 desa di Kalbar masih belum menikmati listrik PLN. Meski rasio elektrifikasi sudah mencapai 94,23 persen, sebanyak 366 desa masih bergantung pada energi alternatif atau bahkan tanpa listrik sama sekali.
“Kesenjangan akses energi berdampak langsung pada kualitas hidup. Anak-anak di desa gelap harus belajar seadanya, usaha kecil sulit berkembang, dan puskesmas tidak berjalan maksimal,” ungkapnya.
Cornelis mendorong percepatan program listrik desa melalui sambungan rumah tangga miskin, penguatan jaringan di wilayah sulit, serta subsidi bagi desa tertinggal. Ia menegaskan pemerataan energi menjadi fondasi agar desa tidak tertinggal dari kota.
Sebagai putra Dayak, Cornelis juga menegaskan komitmennya memperjuangkan hak masyarakat adat. Ia menolak kebijakan yang mengancam hak ulayat, termasuk dalam pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
“Negara harus hadir melindungi masyarakat adat, bukan justru melemahkan mereka,” ujarnya.
Selain itu, Cornelis menyoroti maraknya konflik agraria di sektor perkebunan sawit, terutama di Ketapang, yang kerap menimbulkan ketidakpastian hukum. Ia meminta ATR/BPN dan KLHK segera melakukan verifikasi agar persoalan tidak semakin berlarut.[SK]