Kayong Utara (Suara Landak) – Di balik perbukitan hijau Desa Podorukun, Kecamatan Seponti Jaya, terdengar suara denting logam beradu yang berpadu dengan hembusan angin. Suara itu berasal dari palu kecil di tangan Nenek Yan (50), seorang perempuan tangguh yang setiap hari memecah batu di bawah terik matahari tanpa keluh.Aktivitas keseharian nenek Yan yang sedang memukul batu di Bukit Podorukun, Seponti, Kayong Utara.SUARALANDAK/SK
Dari kejauhan, irama ketukan itu terdengar seperti nyanyian keteguhan hidup. Batu-batu besar ia pukul satu per satu hingga menjadi kerikil kecil, lalu dikumpulkan untuk dijual demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Suami sudah meninggal. Saya tinggal sendiri. Anak cuma satu, tapi sudah berkeluarga dan punya anak,” ujar Nenek Yan pelan, sambil menggenggam palu kecilnya yang mulai aus di pegangan, kepada Suarakalbar.co.id, Rabu (22/10/2025).
Setiap pagi, Nenek Yan berjalan kaki sejauh satu kilometer menuju kaki Bukit Podorukun — tempat ia bekerja sejak puluhan tahun lalu. Tak peduli panas menyengat atau hujan mengguyur, langkahnya tetap tegap, membawa semangat yang tak pernah pudar.
“Upahnya harian, sekitar seratus ribu. Dari pagi sampai sore. Kadang berhenti cuma pas salat dan makan. Jam empat baru pulang,” katanya sambil mengusap peluh di dahinya. Lengan tuanya tampak menghitam oleh matahari, tetapi sorot matanya masih menyala penuh semangat.
Di usia senjanya, Nenek Yan menolak bergantung pada siapa pun—termasuk anaknya sendiri. Ia memilih menanggung beban hidupnya dengan tangan sendiri, memecah batu demi batu, seolah memecah kerasnya kehidupan yang tak pernah berhenti menguji.
Kisah Nenek Yan adalah potret nyata keteguhan perempuan desa di tengah keterbatasan. Dari denting palu dan serpihan batu, lahirlah pesan tentang harga diri, kerja keras, dan ketulusan hidup yang jarang terlihat, tetapi begitu dalam maknanya.
Di antara sunyi bukit Podorukun, ketukan palu Nenek Yan bukan sekadar suara kerja — melainkan suara keberanian seorang perempuan yang menolak menyerah pada hidup.[SK]