|

Streaming Radio Suara Landak

Survei: Mayoritas Warga Ingin PSBB Dihentikan Agar Ekonomi Jalan

Seorang pedagang ikan mengenakan masker di tengah pandemi corona di sebuah pasar di Jakarta, 24 Juni 2020. (Foto: dok).

Jakarta (Suara Landak) — Hasil survei Indikator Politik Indonesia (IPI) menunjukkan 60,6 persen responden setuju Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dihentikan agar perekonomian segera berjalan. Survei ini melibatkan 1.200 responden yang ditelepon pada 13-16 Juli 2020 dengan marjin kesalahan ±2.9 persen.

Direktur Eksekutif IPI Burhanuddin Muhtadi mengatakan, persentase tersebut lebih besar dibandingkan hasil survei IPI pada Mei lalu yang menunjukkan bahwa hanya 43,1 persen responden yang setuju PSBB dihentikan. Ini juga sejalan dengan temuan lain yang menyebutkan 57 persen responden mengatakan ekonomi nasional buruk dan 12,2 persen lainnya menilai sangat buruk.

"Kalau masyarakat sudah tidak bisa diharapkan untuk tinggal di rumah karena terkait kebutuhan ekonomi yang sangat penting, pertanyaannya bagaimana dengan implikasi kesehatannya, karena kita tahu selama satu bulan terakhir, (jumlah kasus) virus corona bukan menurun tapi malah meningkat," jelas Burhanuddin Muhtadi saat merilis hasil survei secara online pada Selasa (21/7).

Hasil survei juga menunjukkan 47,9 persen responden meminta pemerintah lebih memperhatikan persoalan ekonomi ketimbang kesehatan, meningkat dari hasil suvei pada Mei lalu sebesar 33,9 persen.

Temuan ini juga sejalan dengan temuan survei yang menunjukkan 16,9 persen responden mengalami PHK selama pandemi, dan 24,4 persen dirumahkan sementara, serta 32 persen lainnya pekerjaannya berkurang.

Menanggapi itu, Sekjen DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto meyakini hasil survei akan digunakan pemerintah dalam mengambil kebijakan. Kendati demikian, ia mengklaim pemerintah tetap memprioritaskan ekonomi dan kesehatan dalam penanganan corona. Itu terlihat dari pembentukan Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional yang tertuang dalam Perpres Nomor 82 Tahun 2020 yang telah ditandatangani presiden pada Senin (20/7).

Presiden Jokowi menunjuk Menko Perekonomian Airlangga Hartarto untuk mengoordinasikan tim kebijakan itu dengan dibantu Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi, Menko Polhukam, dan Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Kesehatan. Sedangkan Menteri BUMN Erick Thohir ditunjuk sebagai ketua pelaksana yang bertugas mengkoordinasikan Satgas Perekonomian dan Satgas Covid-19.

"Pemerintahan Jokowi sudah merespon dimana paradigmanya ekonomi dan kesehatan yang dipadukan. Terlebih dengan terbentuknya tim khusus yg melakukan integrasi terhadap penanganan Covid-19 dan mendorong aspek ekonomi," jelas Hasto.

Hasto menambahkan PDI Perjuangan juga akan mendorong pemerintah membuat program-program padat karya untuk menumbuhkan ekonomi masyarakat. Serta mendorong gerakan menanam untuk memenuhi kebutuhan pangan pada masa krisis.

Sementara Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Jakarta, Erlina Burhan mengingatkan bahwa Indonesia belum bisa mengendalikan virus corona. Itu terlihat dari penambahan kasus positif dan korban meninggal akibat corona setiap hari saat penerapan kelaziman baru atau new normal. Bahkan kemarin (20/7) jumlah kasusnya telah melampaui China yakni 88.214 kasus dengan penambahan baru 1.693 kasus.

"China itu penduduknya 1,6 miliar, kita 270 juta. Tetapi jumlah kasus yang terkonfirmasi lebih banyak. Itu artinya kita barangkali belum bisa mengendalikan penyebaran corona," jelas Erlina.

Ia mengingatkan agar pemerintah serius menerapkan protokol corona di tengah pembukaan kembali aktivitas ekonomi masyarakat. Menurutnya, perlu ada pengawas yang turun langsung ke lapangan untuk memantau penerapan protokol tersebut. Terutama di sektor transportasi, pariwisata, tempat hiburan dan perkantoran yang berpotensi menjadi tempat kerumunan orang yang dapat memperluas penyebaran corona.

Di samping itu, Erlina juga mengkritisi hasil survei IPI yang menyebut masyarakat lebih memperhatikan ekonomi ketimbang kesehatan. Menurutnya, hasil ini muncul kemungkinan karena kurangnya pemahaman atau kesadaran masyarakat terhadap bahaya corona. Karena itu, kata dia, perlu edukasi yang maksimal kepada masyarakat terkait ancaman corona.

"Kalau ekonomi turun kita bisa menghidupkan, tapi kalau korban Covid-19 mati kita tidak bisa menghidupkannya," pungkas Erlina. [sm/ab]

Sumber (VOA)
Bagikan:
Komentar Anda

Berita Terkini