Hari Pantun Dunia (Harpandu) dan Hari Pantun Nasional (Hartunas) sukses digelar secara virtual, Selasa (7/10/2025). Kegiatan ini diikuti tidak hanya oleh kabupaten dan kota di Kalimantan Barat, tetapi juga perwakilan dari berbagai provinsi di Indonesia.
Sosialisasi ini menjadi momentum penting dalam upaya merawat pantun sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTB) dunia, setelah resmi ditetapkan oleh UNESCO pada 17 Desember 2020.
Ketua Panitia Harpandu dan Hartunas, Nur Iskandar, dalam laporannya menjelaskan bahwa lahirnya peringatan dua hari besar pantun ini berawal dari inisiatif menjaga kohesi sosial-budaya antarnegara serumpun di Kalimantan—khususnya Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
“Untuk merawat WBTB di Rumah Budaya Kampong Caping yang berada di tepi Sungai Kapuas, kita mendeklarasikan Hari Pantun Dunia, dilatarbelakangi oleh semangat serumpun yang mengikat masyarakat di wilayah ini,” ujar Nuris—sapaan akrabnya.
Ia menjelaskan, momentum Harpandu bermula dari kegiatan ‘Serumpun Berpantun’ yang berlangsung selama 16 jam tayang antara ATL Indonesia dan Malaysia di Rumah Melayu, MABM Kalbar. Dari kegiatan tersebut lahir kesepakatan untuk mendeklarasikan Harpandu dan Hartunas, diperkuat oleh rekomendasi seminar nasional di Universitas Tanjungpura yang dibuka langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nadiem Makarim.
“Hanya Indonesia yang memiliki dua hari raya pantun, yakni Harpandu pada 16 Desember dan Hartunas pada 17 Desember, sejak dideklarasikan tahun 2023,” jelas Nuris.
Menurutnya, Harpandu dideklarasikan di Pontianak oleh perwakilan 10 negara, sementara Hartunas dideklarasikan di Pekanbaru, Riau.
Dalam kesempatan yang sama, Wali Kota Pontianak Edi Rusdi Kamtono menyatakan dukungan penuh terhadap gerakan Harpandu dan Hartunas. Ia menilai pantun merupakan bagian yang tak terpisahkan dari identitas budaya masyarakat Pontianak.
“Pontianak sangat lekat dengan tradisi pantun. Melalui Harpandu dan Hartunas, kita ingin melestarikan tradisi lisan ini agar tetap hidup di tengah generasi muda,” ujarnya.
Sementara itu, Gubernur Kalbar H. Ria Norsan melalui Kadis Pendidikan dan Kebudayaan menegaskan bahwa posisi Kalbar yang berbatasan langsung dengan Sarawak (Malaysia) dan Brunei Darussalam menjadikan tradisi pantun sebagai perekat budaya serumpun.
“Harpandu dan Hartunas menjadi modal sosial penting bagi kebangkitan sastra lisan di Bumi Kalimantan, baik di tingkat regional maupun internasional,” katanya.
Ketua ATL Kalbar sekaligus Ketua DPP MABM, Prof. Dr. Chairil Effendy, menambahkan bahwa pantun merupakan identitas kuat masyarakat Melayu.
“Bagi orang Melayu, pantun adalah bagian dari hidup. Apa pun keadaannya, baik senang, marah, atau sedih, selalu dipantunkan,” ujarnya.
Menteri Kebudayaan RI Dr. Fadli Zon yang berhalangan hadir karena agenda sidang WBTB, melalui panitia menegaskan kembali Surat Keputusan No. 163/M/2025 tentang Hari Pantun. Dalam amanatnya, ia mengajak masyarakat untuk terus mengisi momentum ini dengan kreasi, ekshibisi, dan kolaborasi lintas daerah serta lintas negara.
Sosialisasi kali ini diikuti peserta dari berbagai daerah seperti Aceh, Sumbar, Langkat, Medan, Jakarta, dan Semarang, serta perwakilan kabupaten/kota se-Kalbar, mulai dari Mempawah, Singkawang, Sambas, Sanggau, Sintang, hingga Kapuas Hulu.
Sepanjang kegiatan yang berlangsung dari pukul 09.00 hingga 11.30 WIB, peserta menunjukkan antusiasme tinggi dengan beragam usulan, mulai dari lomba pantun, diskusi akademik, hingga pertemuan rutin dalam berbagai format.
Dengan semangat pantun yang menyejukkan dan menyatukan, sosialisasi Harpandu dan Hartunas tahun 2025 ini menegaskan kembali peran Pontianak sebagai pusat gerakan pelestarian sastra lisan serumpun di Asia Tenggara.[SK]