|

Streaming Radio Suara Landak

Kasus Penganiayaan 21 WBP di Rutan Bengkayang Diselesaikan Lewat Hukum Adat Dayak

 

Kasus Dugaan Penganiayaan di Rutan Bengkayang Diselesaikan Kerarifan Lokal Hukum Adat Adat.SUARALANDAK/SK
Bengkayang (Suara Landak) – Kasus dugaan penganiayaan terhadap 21 Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Kelas IIB Mabak, Bengkayang, yang sempat viral di media sosial pada Juni lalu, akhirnya resmi diselesaikan melalui mekanisme hukum adat Dayak. Proses perdamaian ini menandai langkah besar dalam mengedepankan kearifan lokal untuk menyelesaikan konflik sosial.

Penyelesaian adat tersebut digelar pada Sabtu (5/7/2025) di Rumah Adat Banua Lumar, Kecamatan Lumar, dan difasilitasi oleh Dewan Adat Dayak (DAD) Kabupaten Bengkayang, DAD Kecamatan Lumar, dan Ketua Banua Lumar. Prosesi musyawarah adat dikenal dengan istilah Muka Bide, menghadirkan pihak keluarga korban, pelaku, tokoh adat, serta unsur pemerintah dan keamanan.

Ketua Banua Lumar yang juga Wakil Ketua II DPRD Bengkayang, Esidorus, menegaskan bahwa seluruh proses telah diselesaikan melalui pendekatan kekeluargaan dan kearifan lokal.

“Dengan telah dilaksanakannya keputusan hukum adat ini, maka permasalahan dianggap selesai. Tidak ada tuntutan hukum lain yang akan dilanjutkan oleh kedua belah pihak,” ujar Esidorus.

Kepala Rutan Kelas IIB Bengkayang, Fajar Setiawan, SH, turut menyambut baik penyelesaian ini. Ia menyampaikan apresiasi terhadap seluruh pihak yang mendukung penyelesaian berbasis budaya lokal.

“Kami sangat menghargai keputusan ini. Ini membuktikan bahwa penyelesaian berbasis budaya dan musyawarah dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak,” ujarnya.

Ketua DAD Lumar, Alambertus, menjelaskan bahwa musyawarah adat ini berfokus pada tindakan kekerasan yang dilakukan oleh salah satu petugas rutan berinisial RA terhadap seorang WBP bernama MA serta 20 WBP lainnya. Dalam proses yang sama, juga ditemukan adanya penyalahgunaan narkoba oleh para WBP berdasarkan hasil tes urine.

Dari hasil musyawarah adat tersebut, disepakati enam poin utama:

  1. Kedua belah pihak sepakat menyelesaikan permasalahan secara kekeluargaan melalui lembaga adat Dayak Banua Lumar.

  2. RA mengakui dan terbukti melakukan kekerasan terhadap 21 WBP.

  3. Hasil tes urine menunjukkan ke-21 WBP menggunakan narkoba.

  4. RA dijatuhi sanksi adat berupa pelanggaran Madok Bahat (penganiayaan berat) dan wajib membayar denda adat sebagai berikut: 25,5 Tahil untuk Barang Tubuh Adat, 5,5 Tahil sebagai Panabe untuk ahli waris, Lepet Kunyit + Ayat Sangkabak sesuai ketentuan adat, 3,5 Tahil untuk Lantat/Pansilo Pengurus.

  5. Kedua belah pihak wajib mematuhi seluruh kesepakatan dan tidak akan menempuh jalur hukum lain di luar hukum adat.

  6. Jika ada pelanggaran terhadap kesepakatan ini, maka dapat dikenakan sanksi sesuai hukum adat atau hukum negara yang berlaku.

Proses penyelesaian ini disaksikan oleh berbagai pihak, antara lain Bambang Susatyo mewakili keluarga korban, Fajar Setiawan selaku pimpinan Rutan sekaligus perwakilan pelaku, Ketua DAD Lumar Alambertus, dan Kepala Banua Lumar Esidorus. Hadir pula sejumlah saksi dari unsur pemerintah dan keamanan, yakni Yordanus Misa (perwakilan Camat Lumar), L. Sitompul (perwakilan Polsek Lumar), Serda Janu Saplatu (perwakilan Danramil Ledo, Lumar, dan Suti Semarang), serta Rudi dari DAD Kabupaten Bengkayang.

Penyelesaian kasus ini menjadi bukti nyata bahwa hukum adat masih relevan dan efektif dalam menjaga keharmonisan sosial di tengah masyarakat Dayak. Lebih dari itu, musyawarah ini juga menegaskan pentingnya dialog, penghormatan terhadap kearifan lokal, dan penyelesaian konflik tanpa kekerasan.[SK]

Bagikan:
Komentar Anda

Berita Terkini